Rabu, 01 Agustus 2012
Belalang Goreng, Protein Khas Gunung Kidul
Keanekaragaman Indonesia tercermin dalam berbagai hal salah satunya
dalam segi makanan. Jika berkesempatan pergi ke luar negeri, maka kita
akan merasakan betapa kayanya jenis makanan yang ada di Indonesia
dibandingkan dengan negara lain. Betapa makanan yang ada di Nusantara
itu beraneka rasa, warna, rupa bahkan makna. Kondisi dan hasil alam
Indonesia yang bervariasi tampaknya memberikan pengaruh pada keragaman
makanan yang ada ini.
Aku ingin bercerita sedikit tentang salah satu makanan Nusantara yang aku kenal yakni belalang goreng atau walang goreng dalam Bahasa Jawa. Ini adalah salah satu makanan khas yang ada di Kabupaten Gunung Kidul, DIY selain gaplek, thiwul dan gatot. Pertama kali aku mencicipi belalang goreng pada saat melakukan kuliah kerja nyata (KKN) di wilayah Saptosari, Gunung kidul pada tahun 2005 dulu. Awalnya memang terdengar agak aneh namun karena penasaran, akhirnya waktu itu aku mencoba juga.
Belalang memang banyak dijual di wilayah Gunung Kidul. Kalau kita
berkunjung ke sana, kita bisa temukan para pedagang mangkal di beberapa
tempat untuk menjajakan binatang yang suka meloncat-loncat ini. Sebut
saja di daerah Paliyan dekat Saptosari, sewaktu kita akan berkunjung ke
Pantai Ngrenehan atau Pantai Baron. Persis di depan tempat yang sering
dipakai untuk latihan tentara, di sana bisa kita temukan para penjual
belalang ini. Tempat lainnya adalah di wilayah Semanu. Kabarnya juga ada
di tempat lain, tapi hanya di kedua daerah ini yang pernah aku lihat
secara langsung. Biasanya mereka berjualan dengan cara menggantungkan
rentengan belalang yang masih hidup, ditusuk dalam satu potongan bambu
atau tali rafia pada kayu atau pada sepeda onthelnya.
Setelah digoreng, belalang memang terlihat menggelikan seperti kecoa. Tapi janganlah menilai dari luarnya saja. Cobalah cicipi satu, Anda akan menggambil untuk kedua kalinya. Setelah yang kedua dan ketiga kalinya pasti ketagihan sampai tak terasa belalang goreng ini habis. Rasanya seperti menggigit cangkang kepiting goreng, crispy, kriuk-kriuk begitulah.
Dulu kami makan belalang ini ditemani nasi putih dan sambal bawang.
Kadang juga sambal kecap yang dibuat hanya dengan mencampurkan kecap dan
irisan lombok. Atau, memakan layaknya cemilan sambil nonton TV atau
VCD. Jangan tanya soal rasanya, hmmm guriiiih. Hanya sayang, aku punya
alergi yang menyebabkan badan langsung bentol-bentol dan gatal setelah
makan belalang ini. Tapi aku tak kehabisan akal. Setiap seminggu sekali
kami diberi kesempatan meninggalkan lokasi KKN untuk kembali ke kota.
Pada saat itulah aku suka membeli CTM untuk mengusir bentol-bentol
sehabis makan belalang.
Cara membuat belalang goreng ini sangatlah gampang. Aku ingat betul bagaimana dulu sering diminta untuk membantu ibu pemilik pondokan KKN-ku memasak belalang. Sehabis dibeli dari penjualnya, belalang di siram dengan air panas mendidih. Setelah semuanya mati, belalang dibersihkan dari bulu-bulu yang melekat dan satu per sayapnya kadang juga beserta kepalanya. Setelah itu dicuci kembali sampai bersih dan digoreng dalam minyak panas setelah sebelumnya direndam kembali dalam air yang telah dicampur garam serta bumbu instan atau racikan sendiri.
Belalang yang dimakan ini biasanya jenis belalang kayu yaitu belalang
yang suka menempel di pohon jati yang banyak tumbuh di Gunung Kidul.
Banyak ditemukan pada saat musim kemarau. Sesekali kadang aku ikut
anak-anak kecil di desa tempatku KKN jalan-jalan untuk menangkap
belalang ini. Menangkapnya bisa hanya dengan tangan kosong, pakai lem
tikus yang dibalurkan pada batang bambu, atau dengan jaring yang juga
dipasang pada ujung bambu yang berukuran cukup panjang. Kadang aku suka
jadi bahan tertawaan anak-anak karena sering gagal menangkap belalang.
Memang harus kuakui kalau anak-anak ini lebih kompeten untuk urusan
tangkap-menangkap belalang. Di musim hujan pun belalang masih bisa
ditangkap. Biasanya dilakukan pada malam hari dengan membawa senter.
Namun aku belum pernah mencobanya.
Belakangan aku baru tahu kalau belalang ini punya kandungan protein yang tinggi. Bahkan, lebih tinggi dari makanan penghasil protein lain seperti udang, telur ayam, daging ayam bahkan daging sapi. Cocok untuk dijadikan alternatif memenuhi kebutuhan protein yang murah meriah.
Belalang biasanya dijual rentengan dalam keadaan masih hidup. Harganya
bervariasi tergantung berapa ekor jumlahnya dalam satu renteng. Untuk
yang 100 ekor satu renteng dijual seharga Rp. 30.000,-. Untuk yang 150
ekor harganya Rp. 45.000,-. Juga, kita bisa membeli jumlah yang lebih
kecil yaitu 50 ekor seharga Rp. 15.000,-. Cukup terjangkau bila
dibandingkan dengan sumber protein hewani lainnya.
Kalau malas memasak, cukup bilang saja kepada si penjual belalang, biasanya dia akan membawa kita ke rumah warga yang berada di sekitar situ. Mereka akan memasaknya untuk kita. Mau dimakan di situ atau kita bawa pulang, terserah. Dengan membayar ongkos masak sekitar sekitar Rp. 15.000,- ditambah harga lain untuk teman makannya kita sudah bisa memupus rasa penasaran untuk makan belalang ini.
Untungnya sekarang juga sudah banyak orang berjualan belalang goreng
yang sudah dikemas dalam plastik atau toples. Dari penjual belalang
rentengan yang ada di Paliyan atau Semanu kita bisa menuju ke Wonosari
tepanya di jalan K.H. Agus Salim. Di sana banyak yang menjual belalang
kemasan. Harganya murah mulai dari Rp.5000,- hingga puluhan ribu untuk
satu kemasannya. Di situ juga sudah banyak rumah makan yang menyediakan
lauk belalang. Selain dengan nasi putih, kita bisa memakannya dengan
thiwul (pengganti nasi khas Gunung Kidul berbahan dasar singkong) atau
nasi merah. Kita juga tak perlu khawatir karena belalang ini dihalalkan
kok.
Penasaran? Tunggu apa lagi, ayo segera meluncur dan penuhi kebutuhan protein tubuh Anda dengan memakan belalang khas Gunung Kidul!
Sumber: adirafacesofindonesia.com